Ketua
Drs. H. HASPAN PULUNGAN, SH
Perkara
Pengawasan & Informasi
Prosedure Standar
Transparansi Anggaran
Kutipan Badilag |
Written by admin pengailan agama padangsidempuan |
Tuesday, 05 June 2012 01:14 |
Pemimpin yang ‘Jaim’ * Ada kawan karib saya menelpon, usul agar di Pojok Pak Dirjen yang akan datang saya bercerita tentang kepemimpinan. “Selama ini Pak Dirjen belum pernah menulis tentang kepemimpinan,” kata kawan yang nampak selalu menyantap Pojok Pak Dirjen ini. “Lhaa.., yang selama ini saya tulis kan hampir semuanya berkaitan dengan kepemimpinan?” jawab saya. “Iya, tapi tidak terlalu fokus berkaitan dengan apa yang harus dan apa yang jangan dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketua PA, misalnya,” kata kawan saya ini memberi contoh, walau tidak detail. “Iya deh, kalau gitu, akan saya coba. Terima kasih,” kata saya, mengakhiri obrolan tentang usulannya itu. Di Bandara Cengkareng saya ada waktu sekitar 1 jam menungggu keberangkatan pesawat yang akan membawa saya ke Surabaya, Rabu (30/5) sore. Di Lounge BNI Cengkareng, tempat biasa saya menunggu keberangkatan, saya buka laptop, mikir-mikir apa yang harus saya tulis tentang kepemimpinan untuk dimuat pada Pojok Pak Dirjen yang akan datang ini, sesuai usul kawan saya tadi. Rasanya saya sudah sering bercerita tentang sifat-sifat pemimpin yang harus dimiliki oleh pimpinan peradilan agama. Saya pernah menulis bahwa peran pemimpin sangat menentukan dalam pencapaian suatu organisasi, pemimpin merupakan “driver”, dan sebagainya. Saya juga pernah mengemukakan gaya kepemimpinan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro: Pemimpin itu harus menjadi teladan bila berada di depan, harus menjadi motor penggerak dan juga harus menjadi pendorong bagi orang-orang yang dipimpinnya. Tanri Abeng mengistilahkannya dengan leading, inspiring dan motivating. Bahkan saya juga pernah menyinggung tentang care (perhatian) dan wisdom (kearifan) yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Benar juga, kata kawan saya itu. Yang paling penting kepemimpinan itu bukan teoretis, tapi harus dipraktikkan. Makanya, ia minta contoh-contoh konkrit sesuai dengan praktik kita di kantor masing-masing. ** Saya jadi teringat cerita seorang kawan dekat lainnya. Pemimpin kantor di tempat ia bekerja sangatlah ‘jaim’. Pemimpin itu, menurutnya, tidak disenangi oleh hampir seluruh bawahannya. “Lho, kan jaim itu ‘jaga imej’. Jadi, bagus dong, selalu menjaga citra,” canda saya. “Enggak lah, ‘jaim’ itu memang singkatan dari jaga imej, tapi konotasinya negatif bahkan menyebalkan,” jawab dia. Kawan itu lalu mengurai satu persatu sifat ‘jaim’ bosnya itu. Sang Bos jarang senyum, raut mukanya selalu ’serem’ dan mudah marah. Kalaupun menyapa staf, hanyalah ala kadarnya, tidak pernah hangat apalagi ramah. “Mungkin biar nampak wibawa kali,” kata kawan itu. Sang Bos juga hampir tidak pernah datang ke ruangan dan meja-meja bawahannya. Kalaupun ada perintah untuk para staf, selalu memanggil wakilnya atau sekretarisnya. Dia selalu bekerja sendiri di kamarnya atau mengendalikan kantornya hanya dari mejanya. Para staf atau pejabat struktural lainnya jika ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, tidak boleh langsung, harus melalui hirarki pemimpin yang ada di kantornya. Tidak pernah ada rapat yang melibatkan para pejabat struktural tingkat bawah, apalagi dengan staf. Kalaupun ada rapat, hanyalah melibatkan pejabat-pejabat terasnya saja. Urusan pekerjaan staf atau hal-hal lain yang berkaitan dengan staf, diserahkan kepada para pejabat pemimpin langsungnya masing-masing. Kalaupun ada pertemuan dengan seluruh tingkatan pejabat dan staf, Sang Bos ini hampir selalu dalam rangka memberikan perintah penting yang harus segera dilaksanakan. Kalau perintahnya tidak dilaksanakan, Sang Bos sering mengancam macam-macam, seperti akan menurunkan nilai DP3 bawahannya atau mengusulkan mutasi, dan lain-lain. Simpulnya, Sang Bos ini sangatlah galak terhadap bawahannya. Tapi, kalau kepada atasannya, sang Bos sangatlah ramah, murah senyum bahkan sangat menunduk-nunduk, saking sopannya. Kepemimpinan Sang Bos ini sangatlah ala kadarnya dan sangat formal. Pekerjaan di kantorpun dibiarkan berjalan apa adanya. Tidak ada greget, apalagi inovasi. Pelaksanaan tugas rutin berjalan tergantung kepada para pembantunya. Pelaksanaan tugas pokok berjalan tanpa kontrol pucuk pemimpin. Administrasi kantor ditangani atas inisiatif sekretarisnya. Pemanfaatan Teknologi Informasi tergantung kepada para adminnya. “Pokoknya, sama sekali tidak tampak adanya peran dari Sang Bos. Bahkan ada kesan, Sang Bos tidak begitu menguasai tentang masalah teknis dan apalagi yang nonteknis, seperti administrasi keuangan, aset dan TI,” kata kawan itu. “Pantesan, mungkin karena itu ia bersikap ‘jaim’,” pikir saya. *** Saya mengharapkan kepada seluruh pemimpin di lingkungan peradilan agama agar menghindari sikap-sikap seperti kisah nyata di atas. Sikap ‘jaim’ yang diartikan seperti itu sangatlah tidak pantas dimiliki seorang pemimpin. Seorang pemimpin haruslah ramah, mudah senyum, hangat, akrab dan tidak membeda-bedakan staf. Kalaupun harus membeda-bedakan, itu karena berkaitan dengan pekerjaan masing-masing staf yang berbeda. Dalam berkomunikasi dan bersikap, seorang pemimpin haruslah memperlakukan sama terhadap semua bawahan. Perhatian dari seorang pemimpin terhadap bawahannya sangatlah mutlak. Perhatian itu akan menjadi motivasi dan apresiasi bagi bawahan. Perhatian pemimpin, apalagi sapaan dan pujian terhadap apa yang telah bawahan kerjakan, akan menjadi nilai yang sangat berharga bagi bawahan. Dengan bersikap seperti itu, ditambah keteladanan, seorang pemimpin akan dicintai bawahannya. Kalau ini terjadi, maka sudah pasti pekerjaan di kantor akan berjalan lancar dan suasana kerjapun akan nyaman dan menyenangkan. Kewibawaan seorang pemimpin bukan karena ke-’jaim’-annya. Justeru dengan sikap yang ramah dan teladan namun juga tegas, seorang pemimpin akan disegani dan dihormati para bawahannya. Pemimpin juga sebaiknya tidak bekerja apa adanya. Saya sering berkata dalam berbagai kesempatan: Jangan hanya seperti air mengalir, tapi harus ada greget. Pemimpin juga harus mampu menjadi teladan, menginspirasi dan memotivasi. Saya yakin pekerjaan di semua pengadilan agama sangatlah banyak, apalagi pada PA-PA yang perkaranya sangat banyak. Namun beban kerja yang banyak ini jangan menjadikan para pemimpinnya terlena atau terbebani dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan keperkaraan saja. Hal-hal yang berkaitan dengan non-keperkaraan juga menjadi kewajiban pemimpin untuk memperhatikan dan mengontrolnya. Saya salut dan mengapresiasi para pemimpin pada PA-PA yang perkaranya banyak yang masih memperhatikan dengan baik pelaksanaan program Reformasi Birokrasi (RB). Bahkan di banyak tempat, justeru PA-PA itulah yang menjadi teladan dalam pelaksanaan program RB itu. Saya tahu persis mana saja PA-PA tersebut. Saya juga mengajak kepada pemimpin PA-PA yang belum begitu memperhatikan program RB, mungkin karena beban kerja yang tinggi atau karena memang kurang perhatian, ayo kita kembangkan kepemimpinan dan kreativitas kita dengan penuh semangat untuk meningkatkan pelaksanaan program RB di tempat tugas kita masing-masing. Saya juga mengharapkan bahwa pelaksanaan RB itu adalah tanggung jawab kita semua. Meski demikian, pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab. Oleh karena itu pemimpin harus care terhadap perubabahan pola pikir dan budaya kerja yang terjadi di pengadilan masing-masing. Pemimpin juga harus memonitor agar penanganan perkara dan administrasinya, pelaksanaan pelayanan publik dan meja informasi, pelaksanaan program ‘justice for the poor’, pengembangan TI serta keharmonisan dan integritas seluruh hakim dan karyawan, selalu terpelihara dan berjalan dengan baik. Dalam hal-hal yang strategis, seperti menjaga integritas, meningkatkan kualitas SDM, memanfaatkan TI dan melaksanakan pelayanan publik, seorang pemimpin harus terjun langsung memberikan arahan-arahan dan memantau perkembangannya. Oleh karena itu, yuk kita kembangkan diri kita masing-masing dan staf kita untuk mengubah pola pikir kita ke arah yang positif dan mengembangkan budaya kerja kita yang efektif dan efisien. **** Saya yakin, kalau kita sudah bertekad dengan niat yang ikhlas dan kerja keras, pemimpin yang ‘jaim’ di lingkungan kita tidak akan kita temui. Sayapun yakin bahwa pemimpin yang ‘jaim’ yang diceritakan oleh kawan akrab saya tadi itu bukanlah berada di lingkungan peradilan. Saya merasa para pemimpin di lingkungan peradilan agama kini semakin terbuka, kreatif, inovatif dan menjunjung akhlaqul karimah. Kini, secara umum, kita sering mendapat apresiasi dari berbagai pihak, dari dalam dan luar negeri. Kitapun sepakat bahwa peradilan agama kini telah banyak mencapai kemajuan, walaupun masih perlu terus kita tingkatkan. Saya merasa, semua ini adalah karena peran para pemimpin pengadilan di lingkungan peradilan agama dalam menggerakkan hakim dan stafnya masing-masing. Semoga hal-hal positif yang ada pada diri kita dapat terus kita pertahankan dan tingkatkan. Sebaliknya, sifat-sifat ‘jaim’ dan apatis dapat kita hilangkan. (WW). |
Last Updated on Tuesday, 05 June 2012 01:42 |