EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP
-
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Agama yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; putusan Pengadilan Tinggi Agama yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
-
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:
-
Putusan declaratoir;
-
Putusan constitutief;
-
Putusan condemnatoir;
-
-
Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi, demikian juga putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
-
Putusan condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu.
-
Putusan untuk melaksanakan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 225 HIR/ Pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
-
Penerapan Pasal 225 HIR/ 259 Rbg harus terlebih dahulu ternyata bahwa Termohon tidak mau melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan tidak dapat / tidak mampu melaksanakannya walau dengan bantuan alat negara. Dalam hal demikian, Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Agama agar termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon. Untuk memperoleh jumlah yang sepadan, Ketua Pengadilan Agama wajib memanggil dan mendengar Termohon eksekusi dan apabila diperlukan Ketua Pengadilan Agama dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang tersebut. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon dituangkan dalam penetapan Ketua Pengadilan Agama.
-
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal 214 s/d Pasal 274 RBg).
-
Putusan dengan mana tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
-
Eksekusi harus dilaksanakan dengan tuntas. Apabila eksekusi telah dilaksanakan, dan barang yang dieksekusi telah diterima oteh pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
-
Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan hal tersebut di atas kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/ rumah tersebut).
-
Putusan Pengadilan Agama atas gugatan penyerobotan, apabila diminta dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan serta-merta atas dasar sengketa bezit / kedudukan berkuasa.
-
Apabila suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap telah dilaksanakan (dieksekusi) atas suatu barang dengan eksekusi riil, tetapi kemudian putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali, maka barang yang telah diserahkan kepada pihak pemohon eksekusi tersebut wajib diserahkan tanpa proses gugatan kepada pemilik semula sebagai pemulihan hak. Pemulihan hak diajukan Pemohon kepada Ketua Pengadilan Agama. Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara eksekusi riil. Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak lain, termohon eksekusi dalam perkara yang berkekuatan hukum tetap dapat mengajukan gugatan ganti rugi senilai obyek miliknya yang telah dieksekusi tersebut dengan eksekusi serta merta.
-
Apabila suatu proses perkara sudah memperoleh suatu putusan namun belum berkekuatan hukum tetap, tetapi terjadi perdamaian di luar pengadilan yang intinya mengesampingkan amar putusan, ternyata perdamaian itu diingkari oleh salah satu pihak dan proses perkara dihentikan sehingga putusan yang ada menjadi berkekuatan hukum tetap, maka putusan yang berkekuatan hukum tetap itulah yang dapat dieksekusi. Akan tetapi pihak yang merasa dirugikan dengan ingkar janjinya pihak yang membuat perjanjian perdamaian itu dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi. Dalam hal yang demikian, Ketua Pengadilan Agama dapat menunda eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut.Sumber:
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 433-436.